Ingat Wayang, Ingat Ki Nartosabdo

by 8msugiharto | Comments Off on Ingat Wayang, Ingat Ki Nartosabdo

Ki Nartosabdo[1] (huruf Latin Jawa: Nartasabda;lahir di Klaten, 25 Agustus 1925 – meninggal di Semarang, 7 Oktober 1985 pada umur 60 tahun) adalah seorang seniman musik dan dalang wayang kulit legendaris dari Jawa Tengah, Indonesia. Salah satu dalang ternama saat ini, yaitu Ki Manteb Soedharsono mengakui bahwa Ki Nartosabdo adalah dalang wayang kulit terbaik yang pernah dimiliki Indonesia dan belum tergantikan sampai saat ini.

250px-Ki_Nartosabdho

Bagi saya, Ki Nartosabdo adalah seniman luar biasa yang belum tergantikan sampai saat ini. Bahkan dalang kondang kelas dunia Ki Manteb Soedharsono yang merupakan murid almarhum juga mengakui demikian. Tidak hanya di bidang pedalangan di mana ia sangat mahir dalam olah sastra dan dramatisasi, dalam hal lagu-lagu dan gending-gending ciptaannya pun seakan tak lekang oleh zaman. Di tengah pesatnya informasi dan maraknya lagu-lagu yang dibilang “moderen”, lagu-lagu ciptaan Ki Nartosabdo tetap mendapatkan tempat. Sebut saja lagu “Gambang Suling” yang diajarkan di bangku sekolah, ataupun lagu “Prahu Layar” yang hampir setiap penyanyi dangdut bisa menyanyikannya.

Ki Nartosabdo lahir di Klaten, 25 Agustus 1925 dengan nama asli Sunarto. Ia merupakan bungsu dari delapan bersaudara pasangan Partotanayo dan Madiah. Ayahnya seorang pengrawit, dan ibunya seorang mranggi atau pembuat warangka keris. Sejak berusia sebelas tahun Sunarto telah mampu memainkan rebab, kendang, dan gender. Kehidupan masa kecilnya yang serbasulit membuat Sunarto putus sekolah dan hanya sampai kelas empat saja pada pendidikan formalnya, yaitu Standaard School Muhammadiyah atau SD lima tahun.

Berbekal bakat seni yang ia miliki, Sunarto berusaha membantu perekonomian keluarga. Antara lain ia pernah menjadi pelukis, juga menjadi pemain biola dalam Orkes Keroncong Sinar Purnama. Bakat seni yang semakin berkembang itu membuatnya dapat melanjutkan sekolah di Lembaga Pendidikan Katolik.

Pada 1940 sampai 1942 Sunarto bergabung dengan grup Ketoprak Budi Langen Wanodya. Kemudian pada 1945 ia menjadi pemain kendang pada grup Sri Wandawa, lalu bergabung dengan grup Wayang Orang Ngesti Pandhowo pimpinan Ki Sastrosabdo. Sejak itulah Sunarto mengenal dunia pedalangan dari Ki Sastrosabdo sebagai gurunya. Bahkan karena jasa-jasanya membuat banyak kreasi baru di dalam grup tersebut, Ki Sastrosabdo mengganti nama Sunarto menjadi Nartosabdo pada 1948.

Pada 1950 Nartosabdo menikah dengan Tumini dan memiliki seorang anak bernama Jarot Sabdono.

Selain belajar dari Ki Sastrosabdo, Nartosabdo juga belajar seni pedalangan dari Ki Gitocarito, seorang dalang ternama dari Sukoharjo yang bermukim di Semarang. Selain itu ia juga belajar mendalang pada Ki Pujosumarto dari Klaten dan Ki Wignyo Sutarno dari Surakarta. Dari guru yang disebut terakhir, Ki Nartosabdo banyak belajar mengenai dramatika pewayangan atau yang biasa disebut sanggit.

Meskipun berasal dari Jawa Tengah, namun Ki Nartosabdo tampil pertama kali sebagai dalang justru di Jakarta, tepatnya di Gedung PTIK yang disirakan secara langsung oleh RRI pada 28 April 1958. Lakon yang ia bawakan kala itu adalah Kresna Duta. Pengalaman pertama mendalang itu konon sempat membuat Ki Nartosabdo demam panggung. Bagaimana tidak? Saat itu profesinya adalah pengendang, namun ia didorong oleh Sukiman, Kepala Studio RRI untuk menampilkan kemampuan mendalangnya.

Penampilan perdana itu justru membuat Ki Nartosabdo mendapat tempat di hati masyarakat pecinta wayang kulit. Berturut-turut ia pun mendapatkan kesempatan mendalang di Solo, Surabaya, Yogyakarta, dan sebagainya. Lahir pula cerita atau lakon-lakon gubahannya, seperti Dasagriwa, Mustakaweni, Ismaya Maneges, Gatutkaca Sungging, Gatutkaca Wisuda, Arjuna Cinoba, Kresna Apus, dan Bagawan Sendanggarba.

Ki Nartosabddo saat itu boleh dikata sebagai pembaharu dunia pedalangan. Ia banyak melanggar pakem antara lain berani menampilkan dialog bersifat humor sebagai selingan pada adegan jejer pertama atau keratonan, padahal biasanya kaku dan formal. Banyak dalang senior mengkritik penampilannya, bahkan ada studio RRI di salah satu kota yang memboikot hasil karyanya. Namun demikian, tidak sedikit dalang muda yang mendukung dan menirunya.

Dalam hal menciptakan lagu, syair yang disusun Ki Nartosabdo banyak memuat nasihat, filosofi, dan pelajaran hidup. Tidak heran bila Presiden Sukarno kala itu menjadikan Ki Nartosabdo sebagai dalang kesayangannya. Meskipun menganut gaya Surakarta, Ki Nartosabdo tidak melulu fanatik dengan gaya tersebut. Dalam setiap pementasannya, tidak jarang ia membawakan pedalangan gaya Yogyakarta atau Banyumasan. Bahkan, ia juga sering mengkombinasikan kedua gaya yang “berseteru” tersebut.

Ki Nartosabdo juga mendirikan grup Karawitan “Condong Raos” sebagai wadah kreasinya. Sebanyak 319 judul lagu telah ia ciptakan dan sampai sekarang pun masih tetap mendapat tempat di hati masyarakat. Lagu-lagu yang lazim disebut Gending Nartosabdan itu juga banyak dipakai para dalang lain yang sepaham dengannya untuk dimasukkan ke dalam pementasan mereka.

Meskipun berasal dari Jawa Tengah, namun Ki Nartosabdo muncul pertama kali sebagai dalang justru di Jakarta, tepatnya di Gedung PTIK yang disiarkan secara langsung oleh RRI pada tanggal 28 April 1958. Lakon yang ia tempilkan saat itu adalah Kresna Duta. Pengalaman pertama mendalang tersebut sempat membuat Ki Narto panik di atas pentas karena pada saat itu pekerjaannya yang sesungguhnya ialah pengendhang grup Ngesti Pandowo

Ki Narto sejak remaja sudah menggemari para dalang ternama, seperti Ki Ngabehi Wignyosoetarno dari Sala dan Ki Poedjosoemarto dari Klaten. Ia juga tekun membaca berbagai buku tua. Kepala Studio RRI waktu itu, Sukiman menawari Ki Narto untuk mendalang, sehingga jadilah pertunjukan di PTIK tersebut.

Penampilan perdana itu langsung mengangkat nama Ki Narto. Berturut-turut ia mendapat kesempatan mendalang di Solo, Surabaya, Yogya, dan seterusnya. Lahir pula cerita-cerita gubahannya, seperti Dasa Griwa, Mustakaweni, Ismaya Maneges, Gatutkaca Sungging, Gatutkaca Wisuda, Arjuna Cinoba, Kresna Apus, dan Begawan Sendang Garba. Semua itu ia dapatkan karena banyak belajar sendiri, tidak seperti dalang lain yang pada umumnya lahir dari keturunan dalang pula, atau ada pula istilah dalang kewahyon (mendapat wahyu).

Karena sering mementaskan lakon carangan Ki Narto pun sering mendapat banyak kritik. Ia juga dianggap terlalu menyimpang dari pakem, antara lain berani menampilkan humor sebagai selingan dalam adegan keraton yang biasanya kaku dan formal. Namun kritikan-kritikan tersebut tidak membuatnya gentar, justru semakin banyak berkarya.

Ki Nartosabdo dapat dikatakan sebagai pembaharu dunia pedalangan pada tahun 80-an. Gebrakannya dalam memasukkan gending-gending ciptaannya membuat banyak dalang senior yang memojokkannya. Bahkan ada RRI di salah satu kota memboikot hasil karyanya. Meskipun demikian dukungan juga mengalir antara lain dari dalang-dalang muda yang menginginkan pembaharuan di mana seni wayang hendaknya lebih luwes dan tidak kaku.

Selain sebagai dalang ternama, Ki Narto juga dikenal sebagai pencipta lagu-lagu Jawa yang sangat produktif. Melalui grup karawitan bernama Condong Raos yang ia dirikan, lahir sekitar 319 buah judul lagu (lelagon) atau gendhing, antara lain Caping Gunung, Gambang Suling, Ibu Pertiwi, Klinci Ucul, Prahu Layar, Ngundhuh Layangan, Aja Diplèroki, dan Rujak Jeruk.

(Sumber : www.catatanrupa.blogspot.com )